BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ilmu kalam, filsafat,
dan tasawuf adalah ilmu yang dilahirkan dari persentuhan umat Islam dengan
berbagai masalah sosiocultural yang dihadapi oleh masyarakat sedang berkembang
kala itu mencari dan mempertahankan kebenaran. Dari itu pula lahirlah para
pakar dunia yang telah berhasil mempertahankan kebenara mereka masing- masing,
walaupun dengan cara atau jalan yang ditempuh berbeda. Maka dari itu. Pada
makalah ini akan memebahas hakekat Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Filsafat beserta
hubungan ketigannya agar para pembaca mengetahui dan memahami hakikat ketiganya
serta hubungan ketiganya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa hakekat Ilmu Kalam itu?
2.
Apa hakekat Tasawuf itu?
3.
Apa hakekat Filsafat dan itu?
4.
Bagaimana hunbungan Ilmu Kalam, tasawuf, dan filsafat?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam
2.
Mengetahui dan memahami hakekat tasawuf
3.
Mengetahui dan memehami hakekat Filsafat
4.
Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Filsafat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT ILMU KALAM
Pengertian Ilmu Kalam
Nama lain dari Ilmu
Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha
Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi
Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang
didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya
persoalan-persoalan ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah
mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi
tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai
kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan';
pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan
terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah
(Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam
Ahmad bin Hanbal. Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah
dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai
sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan
kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan dan
kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).
B. HAKIKAT TASAWUF
Pengertian Tasawuf
Istilah
"tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama
berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf
Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa
fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian
atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang
berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di
baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi
berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi
masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang
miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf
berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang
yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan
lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar
sebagai simbol kesederhanaan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Ada sebagian orang yang
mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang
berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian
diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku
mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah
seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak
melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman
dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari
Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia
dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan
asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai
"praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.)dari Maroko mendefinisikan
tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan
menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang
jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki
amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi
nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid,
dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak
demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut
Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda
belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada
melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf
dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia
Ilahi.
Tujuan Tasawuf
Tasawwuf sebagai mana
disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung
dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad
atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja
dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat .
mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda, Abu Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat
yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati.
Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau
ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa
diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) , ikhlas, rasa berteman,
gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam
realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang
Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau
mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf
mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan moral,
seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu
dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada
allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam
berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah,
thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas
mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi,
bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri
agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf
adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa
kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang
merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh
ayat 186
C. HAKIKAT FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat berasal dari
bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta dan shopia berarti hikmah
atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru
Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu
yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato
romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha
agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar
sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang
maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu
pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama,
dan antripologi. Immanuel Kantyang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat
itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup
metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat
dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa
yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam,
dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara
radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
D. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
Ilmu kalam adalah disiplin ilmu
keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan
kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai pada
perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional
(aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah landasan
pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan
argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil
Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam
terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam menerangkan
bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah, Hayat, dan
sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba dapat
merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula
perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa
bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah ?
Pernyataan-pernyataan diatas sulit
terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan
penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu Tasawuf.
Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan
memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja termasuk dalam
lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan
definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara
pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk
merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang
menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui
batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu
batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam,
ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai pemberi
wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam
lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan
penyempurna ilmu kalam.
2. Berfungsi sebagai pengendali ilmu
Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan
akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika
bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau
belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
3. Berfungsi sebagai pemberi kesadaran
rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu
kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan
rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih
bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu
kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan
atau sentuhan hati.
Andaikata
manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan
sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada
rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah
pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari
sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam
pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua
persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih bermakna, tidak
kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.
E. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU
FALSAFAH
Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu
dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan Tasawuf mengharuskan
pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi,
bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada
kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan
dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah.
Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang
rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah
berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek.
Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif
(dzawqi).
Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu :
1. Bentuk hubungan yang paling luas
antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah pertentangan satu sama lain,
sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara, Abu hamid dan
Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi
ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara
tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya, namun
mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga memahami filsafat
hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa hal
itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan ilahiah,
yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para
guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama dengan
teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah Masterpiece
filsafat.
2. Hubungan antara Tasawuf dan filsafat
tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin erat dengan filsafat.
Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat peripatetic dan
mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan
filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab
Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang mutlak
dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dalam tasawuf berkembang
satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk menggantikan
filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika bukan
menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif menggabungkan
filsafat dan Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan
(gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih
tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan
istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari
apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan
lainnya.
3. Hubungan antara Tasawuf dan filsafat
ditemukan dalam karya-karya para sufi yang sekaligus juga filosof, Yang telah
berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin
syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang ini
seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai
maqam spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali, tetapi pada
saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup mengherankan,
beberapa diantara mereka lebih tertarik pada filsafat peripatetic
dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat
diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina.
Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia
tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam
Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun orang-orang
terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof Persia terbesar
yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi.
Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis
dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam
bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam
syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat
sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa
remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar dalam
filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah
Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus
Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya
metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli
makrifat yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka
semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh
menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
4. Kategorisasi umum kita mengenai
hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang mempelajari atau
mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah Al-Farabi, yang
mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang dimainkan dalam
pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah
penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat
dan hingga kini diajarkan di Persia bersama komentar-komentar makrifati.
F. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN
ILMU FIQIH
Biasanya, pembahasan kitab-kitab
fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian persoalan-persoalan kefiqihan
lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau yang lainnya secara
tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya
sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam
persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang
paling tepat karena ilmu ini berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu
fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya
masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk
melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak
akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan
“Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik.
Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan
Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan
fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi
pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan
penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau
seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus
bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang
fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan
dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan
hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu
Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling melengkapi.
G. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN
ILMU JIWA
Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan
tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang
hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut adalah terciptanya
keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan
para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan
manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat
terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah
dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang
ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya,
jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang
yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang
bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam
tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam
perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang
berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah
perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan
kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa
dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya
semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang lain.
Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari
kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
DAFTAR PUTAKA
Saefuddin, Endang Anshori.
1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: PT bina Ilmu Offst Nata, abuddin.
2001. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. www.jadilah.com
0 komentar:
Posting Komentar